Nablus

“Gila James! aku benar-benar tidak tahu siapa yang lebih kuat diantara mereka.”

“Apa maksudmu? apa kau begitu kepanasan di sana sampai tidak bisa membedakan batu dan peluru?”

“Ah… bukan itu. Kau harus datang ke sini. Lihatlah sendiri. Kau akan mengerti maksudku.”

“Itu tugasmu Bung! apa gunanya ada wartawan. Yang kubutuhkan hanya kotak televisi dan gulungan koran. Orang-orang macam kau akan bekerja dan memberitahuku segalanya. Lagi pula, apa-apaan kau? Mengundangku datang ke medan perang, aku masih waras untuk mempertimbangkan tempat liburan yang lebih menyenangkan.”

“Ini bukan sekedar perang! ini… ini…ah! Sebut saja ini sisi hitam. Mmm… perlawanan yang tak terhentikan.”

“Ha ha ha… terserah. Sudahlah, kau sudah terlalu lama berada di sana. Apa kau tidak rindu rumah? “

“Entah… mungkin sedikit. Kau baca tulisan terakhirku? Seharusnya dimuat pagi ini. Bagaimana menurutmu?”

“Hari ini? kau yakin? rasanya tak ada.”

“…Mungkin untuk besok, aku menulisnya dalam feature.”

“Apa ada yang mati?”

“JAMES!”

“Tak ada ‘kan? Jadi tunggu saja sampai ada ruang sisa di koran, baru tulisanmu mungkin dimuat.”

“Sial kau! Aku harus pergi, jangan telepon sampai seminggu, aku akan meliput di Nablus.”

“Hati-hati, tetap kenakan helmmu. Siapa tahu ada lemparan kerikil nyasar. Ingat kami menunggumu pulang.”

“Salamku untuk ayah. Kau sudah menengoknya kan? Katakan aku akan meneleponnya.”

“Baik.”

“Bye.”


………………………..

“Dave pulanglah! “

“…Tidak. Tidak sekarang. Aku tak bisa meninggalkan mereka. Dunia harus tahu hal ini. “

“Tahu apa? Tahu ada orang-orang gila yang meledakkan diri di tengah kota?! Tahu ada sekelompok anak bodoh yang melempari tank dengan kerikil?!”

“Anak-anak itu terlalu kecil, mereka tak pantas berhadapan dengan tank dan senapan.”

“Yang kubaca dari e-mail mu, mereka tak lagi menjadi anak kecil saat mereka melempar kerikil itu.”

“Batu. Mereka melempar batu.”

“Ya, batu yang hancur ditembaki peluru.”

“Dengar! Disini peluru tak dirasakan, desingannya tidak didengar, jadi tak seorangpun takut pada benda itu. Dan batu-batu, bumi selalu menyediakan bongkahan baru, yang lebih besar dan lebih keras. Apa kau tidak mengerti? Mereka hanya mau kebebasan, hanya ingin malam yang tenang untuk tidur. Dan untuk itu mereka melawan, hanya dengan keberanian.”

“… Terserah. Tetapi apa urusanmu? Kau hanya seorang wartawan yang dibuang, yang tulisannya bahkan tak pernah dimuat dan kalaupun dimuat pasti sudah diubah sana-sini.”

“Kau menyinggungku.”

“Dave sadarlah, kau terlalu mendramatisir, karena itu mereka tidak menyukai tulisanmu. Lihatlah sisi lain, jangan subjektif, kau harus adil.”

“Hanya orang-orang Palestina itu yang berhak bicara keadilan! Kau tak tahu apa-apa. Kau tak ada di sini. Kau tak ditembaki dan rumahmu tak dihancurkan buldozer. Kau tak hidup dalam todongan senjata dan selalu khawatir kalau-kalau roket dari helikopter militer menembakkmu saat kau beribadah. Kau buta, berita-berita itu hanya menjadi sekedar kisah yang sudah tak terasa nyata lagi bagimu, kau bahkan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Apa Palestina terlalu jauh? Kau tidak tahu atau tak mau tahu?! Atau hanya sekedar tak ingin ambil pusing?! Merasa bukan urusanmu?!”



“Kemarin ayah menayakanmu. Ia khawatir.”

“Sampaikan maafku, katakan aku baik-baik saja.”

……………….

Dear father,


I am wrapped in the red, black, white, and green here, the land of the prophets, where heaven finds its inhabitants. Jemes had all my stories, I hope you have the kindness to read it. I’m sure, someday you’ll understand. I always love you.


Your son


David



Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit
Posted by PUMITA on 6:35 PM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

0 komentar for "Nablus"

Leave a reply