Kesederhanaan Seorang Teman

Oleh, Ida Arbaiyah - Daegu Korea Selatan


Pagi yang cerah, akhir pekan ini membuat saya bertambah semangat untuk bekerja. Hari terakhir kerja untuk minggu ini. Besok libur dan akan jihad (istilah ketua Al Amin) di tempat lain, Insya Allah. Saya pun bersiap-siap untuk istirahat setelah melakukan pekerjaan malam itu. Tapi… sebelum lupa, mau menghubungi teman dulu yang akan pulang ke tanah air bulan depan setelah 5 tahun bekerja di sini.

Alhamdulillah pagi itu saya dapat menghubunginya, karena kami satu shiff. Teman saya ini sudah seperti saudara kandung buat saya, karena dia satu-satunya orang yang sudah saya kenal sejak di tanah air. Merasa senasib sepenanggungan, maksudnya waktu sama-sama susah di Indonesia. Saya mengenalnya saat menunggu visa dari Korea di Teluk Betung. Saat saya kerja part time pada suatu lembaga kursus dan dia seorang supir disana yang juga sedang menunggu visa dari Brunai Darussalam.
Setelah 2 tahun saya berada di Korea akhirnya saya usulkan teman ini untuk mendaftar ke Korea dan Alhamdulillah berhasillah teman saya memasuki Korea pada saat saya hampir menyelesaikan 3 tahun kontrak kerja pada tahun 2005.

Saat ini teman saya ini termasuk salah satu pekerja yang sukses dari segi financial Insya Allah, dulu hanya sekolah di pantai asuhan dan orangtuanya tinggal dirumah yang sangat sederhana sekali, tapi kini mampu memiliki dan menempatkan orangtuanya di sebuah rumah yang paling megah di daerahnya. Kalau dulu orangtuanya bercocok tanam dengan menyewa tanah di sekitar rumahnya, maka kini seluruh tanah itu sudah mampu dibeli dan bahkan punya asset yang lain dengan jumlah hektar.
Banyaknya gaji yang diterima teman ini (akhir-akhir ini sampai 2.600.000) won perbulan, tidaklah membuatnya untuk hidup berfoya-foya di Korea. Dia mengeluarkan uang hanya sesuai dengan kebutuhan berbanding terbalik tentunya dengan saya.
Saat saya ingatkan bagaimana waktu susah dulu kami dihina oleh teman kami yang menjadi pemilik tempat kursus tempat kerja kami dulu, (setiap ingat penghinaan itu, biasanya saya akan semakin semangat kerja dan suatu saat akan saya tunjukkan kemampuan dan keberhasilan saya, karena hinaan itu memotivasi saya untuk giat bekerja.) tapi ternyata tidak dengan teman saya itu. “Lupakanlah, hati saya juga panas kalau mengingat hinaan-hinaan itu, tapi biarlah. Lebih baik kita diam, dan bekerja keras sambil berdo’a. Alhamdulillah hasilnya seperti sekarang ini”, katanya.
Gerimis hati ini mendengarnya sehingga dendam yang ada di kisi-kisi hati ini menguap entah kemana. Bertahun-tahun semua ini menjadi penderitaan bathin buat saya, yang kadang tiba-tiba datang begitu saja. Tapi pagi ini dengan ucapan teman ini, dendam itu hilang tak berbekas. Alhamdulillah ya Allah, pagi ini Engkau kirimkan ucapan teman ini pada saya atas kehendakMu.

Terimakasih teman, pantaslah Allah memberikan kemudahan padanya, semulus jalan tol, rezeki yang diberikan Allah untuknya pun tidak ada yang terbuang sia-sia. Sedangkan saya selalu bertanya, apa yang salah dengan rezeki saya, selalu saja di ambil Allah dengan cara – cara yang tidak saya kehendaki. Padahal sudah saya tunaikan kewajiban saya, Insya Allah. Tapi mungkin inilah jawaban dari pertanyaan saya selama ini. Allah telah menegur saya, karena masih ada kesombongan di hati ini, masih ada dendam yang menjadi karat di hati.

Dengan rencana-rencana yang sederhana teman saya akan memulai hidup setelah pulang dari Korea, menurut saya persis rencana lima tahun yang lalu sebelum pernah bekerja di Korea saja. Atau mungkin hanya merealisasi rencana yang sudah disusun sebelum berangkat dulu. Trus teman saya nanya juga nih, kapan you pulang ? betah amat di Korea ? Duh… tersentak saya, kena lagi nih. Sesaat saya juga berfikir, kapan ya ? Padahal biasanya kalau saya di tanya orang lain saya dengan enteng menjawab, “belum ada rencana nih”.

Tidak layak seseorang dihina karena kefakirannya. Karena rezeki adalah jatah yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan dengan kadar yang Allah kehendaki pula. Yang layak dinilai adalah usaha dalam mencari rezeki dan bagaimana sikap dalam menerima jatah rezeki yang sudah Allah tetapkan, bagaimana jika kita ditakdirkan fakir dan bagaimana jika kita ditakdirkan kaya. Sisi yang layak dinilai adalah kesabaran dan tingkat syukurnya, bukan kaya atau miskinnya.
Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk fisikmu, bukan pula pada hartamu, akan tetapi Dia melihat hati dan perbuatanmu.” (HR. Muslim.)

Semoga memasuki bulan Ramadhan tahun ini kita bisa membersihkan hati kita dengan memaafkan kesalahan orang-orang yang telah mendzolimi kita.


Wallahu a’lam bishawab.



Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit
Posted by PUMITA on 8:36 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

0 komentar for "Kesederhanaan Seorang Teman"

Leave a reply