Kukibarkan Jilbabku

Dan kuturunkan kain kedadaku. Kuturunkan dia supaya ikut tunduk pandanganku. Kuturunkan kain dari ubun-ubun menyungkap rambutku supaya terlindung dan selamatkanku dari terik matahari ketika kerontang, pedih musim ketika dingin, serta gerayang panas mata dan tangan orang-orang berhati lemah yang berkeliaran di sepanjang jalan. Kuturunkan kain kesekujur tubuhku supaya terjaga aku, tidak saja dari gangguan orang-orang yang aku temui, tetapi juga dari godaan dalam diriku sendiri yang ingin bertingkah.

Kain ini menyelamatkan aku serta orang-orang disekelilingku, dari daya tarik keperempuanku yang mungkin menipu, dan kain panjang ini sebagai kulitku, diriku, identitasku. Dengan kain ini aku berkata, "Tidak" kepada masa lalu yang lemah, kepada hubungan struktur ekonomi, sosial ataupun politik yang tak adil. Kuturunkan kain menutupi tubuh ini supaya aku bisa mengucapkan salam kepada dunia tidak hanya dengan mulut saja tetapi dengan seluruh diri.

Di musim panas yang sangat kering kerontang ini, di tempat kerja yang jauh dari nilai kesopanan soal berpakaian karena kebebasan budaya barat. Sehingga kala berbusana muslim dengan berkibarnya jilbab di negeri yang penduduknya tidak paham dan mengerti pasti orang akan berceloteh yang tak karuan. Kalau yang ngerti, berbusana muslimah sudah nyata tersurat sebagai ketentuan, sudah nyata tersurat sebagai ketentuan yang harus dijalankan oleh seorang perempuan pemeluk islam. Detail bentuk bisa ditafsirkan secara beragam tetapi jelas, harus menutupi keseluruhan penampakan tubuh perempuan kecuali wajah dan tangan.

Kalau kita ingat 20 th yang lalu, pemakai busana muslimah yang demikian hanya remaja putri penghuni pondok pesantren atau istri seorang kyai, atau perempuan kebanyakan lainnya datang ke pengajian hanya menyelempangkan selendang ke bahunya. Juga hanya untuk dipakai meyamarkan rambut ketika mereka mulai membuka kitab suci. Jadi kalau ditempat saya bekerja yang masyarakatnya minim muslimnya sekarang mulai mengakui busana muslimah. Hingga pada suatu pengajian penyair Emha Ainun Najib ternganga sendiri, menyadari gema yang tak berhenti setelah menyerukan puisi harap dan syukur "LAUTAN JILBAB, SAMUDRA PUTIH BERDZIKIR".

Dan betapa saat inipun kita lihat artis-artis atas Indonesia yang cantik dan cerdaspun mengibaskan kain panjang sehingga citra busana muslimah pun mulai cercah mewah dalam arti yang sebenarnya. Seperti yang telah diundang dari organisasi saya dalam pengajian seperti Neno warisman, Ratih Sanggarwati, Novia Kolopaking dan artis lainnya mulai akrab dengan jilbab. Betapa sekarang ini perempuan muda akrab dipusat-pusat kemakmuran tidak sungkan lagi menyelempangkan selendang begitu saja. Dan sayapun berbangga saat ini ditempat kerja, para BMI dinegeri Beton yang telah menunjukkan identitas sebagai muslim, tidak takut lagi mengibarkan jilbab, tidak saja dihalaman masjid tetapi disepanjang jalanan, dan sebagiannya di tempat kerjapun bagi bos yang memberikan ijin untuk berbusana. Biarpun ada yang mengkritik, bercelotheh bahwa model busana muslimah dan berjilbab ini sungguh mengherankan apalagi dimusim yang panas ini. Seorang teman sayapun mengkritik, bahwa model busana ini adalah simbol baru kemewahan yang angkuh diantara kondisi masyarakat yang miskin.

Padahal kalau mereka tahu tidak sedikit jumlah dari kita perempuan yang memakai busana muslimah, yang secara sukarela, tanpa banyak suara menggalang dana, atau mengerahkan tenaganya untuk memperjuangkan nasib perempuan lain yang hampir lantah diantara kaki hidung belang, lelaki asing dan cabul dilampu-lampu merah sampai kolong dapur. Bagi yang mengerti pengguna busana muslim, bagaimanapun telah menjadi fenomena.

Tak kalah serunya ejekan bos ditempat kerja saya, "Em haimaa kem kwai yit....(Aduh..panas-panas....kok krubutan..)itu kata yang dilontarkan. Dengan tenang pun saya jelaskan mengapa saya berkerudung dan saya tak mungkin menjawab bahwa hal itu diwajibkan bagi islam, karena ini tidak ada efeknya bagi bos saya. Jadi saya yang mengerti dan meyakini bukan mereka dari jawaban itu hanya menerangkan saya pemeluk islam yang taat, lantas saya apa artinya buat mereka? Akhirnya saya jawab, baju muslimah ini melindungi saya dari terik matahari ketika musim panas seperti saat ini. Melindungi udara dingin kalau musim dingin.

Jawaban sederhana ini bagi orang asing yang sudah banyak mengerti dan menderita kanker kulit akibat sengatan matahari pasti mengerti dan berarti jawaban itu. Dan teman saya penduduk aslipun sempat bertanya tidakkah kau ingin menampakkan bentuk tubuhmu, keindahan rambutmu pada orang lain? Dan saya pun tertawa. Hijab itu seperti kaca mata. Ia menutup apa yang harus ditutup yakni bola mata yang lemah tetapi memperjelas yang harus diperjelas, yakni obyek pandangan. Ia menutup daya tarik fisik perempuan supaya tidak memperdaya dan terangkat nilainya dan memerjelas potensi perempuan yang seharusnya tersinar yakni keanggunan kepribadian dan kecerdasannya. Dan kalau ada yang mengejek saya berbusana muslimah. Saya pun ingin memperjelas, busana muslim dan jilbabku ini dengan tulisan berirama, "Kukibarkan jilbabku dan kuturunkan kain bagi keberadanku. Maknanya adalah cinta, Cinta kepada-Nya, Cinta penyelamat bagi makhluk-Nya dan cinta bagi seseorang saja yang paling berhak untuk membukanya".

Oleh, Istiani
| Kontributor Buletin Hidayah Pumita Busan
Red. Pumitabusan.com



Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit
Posted by PUMITA on 1:39 AM. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

0 komentar for "Kukibarkan Jilbabku"

Leave a reply